Malam ini seharusnya tepat 1 tahun kami bersama, di waktu
yang sama 365 hari yang lalu, ia berkata ia menyukaiku,
menyayangiku, dan berkata akan bersamaku, menjagaku hingga
matahari tak lagi memberikan sinarnya. Kami sangat tau apa
yang kami rasa di hari itu, sama-sama tau dan saling
mengerti perasaan satu sama lain. Tapi malam ini aku hanya
duduk manis di atas balkon rumahku, termangu, sambil
menatap nanar sinar bulan purnama, memandang hampa ke
arah gugusan bintang di langit yang luas itu. Rasa ini seakan
menggerogoti seluruh hatiku hingga tak tersisa, penyesalan
yang teramat dalam menghiasi malam-malamku beberapa hari
belakangan ini.
Lima hari yang lalu, Aylo mengajaku menemuinya di suatu
kedai tempat kami pertama bertemu, tempat dimana Aylo
juga memintaku untuk menjadi kekasihnya. Buatku, Aylo
adalah lebih dari seorang kekasih, ia telah ku anggap sebagai
seorang kakak atas jasanya dalam kehidupanku, entah, aku
merasa dia memiliki banyak peran dalam kesehariaku, menjadi
seorang motivator ketika mood-ku down, menjadi seorang
sahabat baik dimana aku merasa aman untuk meluapkan
cerita-cerita curhatku, tempatku berkeluh kesah atas semua
kekesalan yang terjadi. Lengkaplah ia.
Di kedai itu aku berharap akan terjadi sesuatu yang luar
biasa, namun bukan manis yang aku dapat, malahan kejutan
pahit di hari ulang tahunku yang ke 17. Tanpa alasan yang
jelas, Aylo memintaku menyudahi cerita yang telah kita
bangun. Pemutusan hubungan sepihak ini membuatku marah.
Aku membentaknya dengan nada tinggi, namun hanya tatapan
kosong yang kuterima. Bergegas aku pulang tanpa pamit.
Air mata membasahi pipiku. Tangis sakit ini tak dapat ku
tahan lagi. Aku terus menangis hingga aku menghempaskan
diriku ke kasur di kamar rumahku. Sosok seorang Aylo yang
sempurna di mataku kini tak khayalnya hanya seorang lelaki
brengsek, benci hatiku ini sekarang.
Tiba-tiba teringatku akan janjinya di hari jadi kami yang ke
11, dimana ia akan mengajakku ke suatu tempat yang aku
suka ketika ulang tahunku, laut Bunaken. Inginku menagihnya,
tapi tahu dimana keberadaannya pun tidak, nomor ponsel
yang dulu ia gunakan juga sudah tak lagi aktif, twitter,
facebook dan media social lainnya yang telah kucoba stalk pun
tak lagi terupdate. Ya, satu yang terpenting yang memang
harus kuterima, aku sudah bukan siapa-siapanya lagi, apa
hak-ku memintanya?
Hembusan angin makin terasa menusuk tulangku, bergegas ku
masuk ke kamar dan berselimut untuk menghangatkan diri.
Terselip di pandanganku, sebuah map biru berada di rak
buku-buku. Reflekku menghampirinya dan membuka map
tersebut. Haaff, ini adalah semua art paper pemberian si
kreatif itu, ia memang rajin memberiku sebuah selipan di
setiap hari jadi kami, kupandangi sebuah kertas pop up atau
apalah itu namanya, pemberiannya yang terakhir yang
kumiliki. Terpampang indah dan jelas sebuah tulisan; “happy
anniversary 11 bulaann baweeell” dan sekumpulan harapan
yang ia tulis disana, dan juga satu kalimat yang pasti selalu
ada di setiapnya. Yaitu, “I Love You for Everything You Have
Done”. Huaff, akhirnya, jatuh sudah butir air mata
pertamaku malam ini. Galau.
Tak munafik, berapa besar pun rasa benciku padanya,
masihlah lebih besar rasa sayangku kepadanya, Aylo. Berkali
kucoba melupakannya, berkali juga aku mencoba mencari
penggantinya, bahkan telah kucoba membuka hati pada laki-
laki lainnya, dan hasilnya pun tetap sama. Gagal.
Kini 7 tahun telah berlalu, ketika ku mulai benar-benar
melupakannya, datang sebuah pesan teks ke handphone-ku
dari nomor yang tak dikenali, ternyata, itu dari Aylo. “temui
aku di tempat pertama kita memulai kisah dulu, sore ini
pukul 4, meja nomor 1” begitu isi pesan teks yang ia
kirimkan. Sangat jelas. Ia memintaku pergi ke kedai itu. Aku
tak menghiraukannya. Aku mencoba untuk tak peduli lagi
padanya.
Dua hari setelahnya, aku diajak teman-temanku pergi ke
kedai itu. Sempatku menolaknya karena takut akan masa-
masa itu. Entah seperti sudah diskenario atau tidak, kami
duduk di meja nomor 1 dan sore itu, jarum jam menunjuk
pada pukul 4. Persis seperti apa yang Aylo minta
Ketika aku sedang memilih makanan, seorang pelayan datang
menghampiriku, memberiku sebuah foto perempuan yang
mirip denganku, ia bertanya apakah aku bernama lengkap
Dayfina Nadya, aku pun mengangguk tanda ku memberi
isyarat iya. Selanjutnya ia bertanya apakah aku ada janji
dengan seorang lelaki muda 2 hari yang lalu. Aku bingung.
Aku menatapnya sebentar kemudian ia berkata
“Dua hari lalu ada seorang pemuda datang kesini, ketika
kutanya ingin pesan apa, ia hanya tersenyum sambil berkata
kalau ia hanya ingin memesan jika tamu yang ia undang
datang. Lalu kubiarkan ia duduk sembari memandangi sebuah
foto perempuan. Sesekali ia terlihat mengecek jam
tangannya. Seperti gelisah. Aku pun menghampirinya dan
bertanya, siapakah sebenarnya tamu yang ia tunggu, lalu ia
menjawab; ‘aku hanya menunggu kekasihku, adikku, seseorang
yang teramat istimewa untukku dan ia yang berarti segalanya
untukku. Entah apakah ia masih menganggapku atau tidak.
Aku hanya ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Aku
hanya ingin meminta maaf atas apa yang telah aku perbuat.
Niatku tidak ingin menyakitinya. Tapi sepertinya ini tidak
berjalan dengan semestinya. Banyak hal yang ia harus tau.
Aku berharap ia berkenan untuk menemuiku. Aku kan
menunggunya, izinkan aku menunggunya disini sampai toko ini
tutup.’ Dan ternyata benar, ia menunggu anda sampai pukul
11 malam. Ia lalu menitipkan surat ini untuk anda.”
Aku bingung bukan kepalang, sejuta pertanyaan berkeliaran
liar di kepalaku. Jantungku berdegup kencang. Berkeringat
aku. Aku bingung. Aku langsung membuka surat tersebut
dan membacanya
“Nad, mungkin ini akan menjadi selipan terakhirku. Padahal,
aku berharap sekali kamu bisa datang hari ini, tapi yaa
mungkin kamu sibuk, aku coba mengerti, aku hanya ingin
meminta maaf aku pergi dari kehidupanmu. Aku lari tiba-
tiba tanpa meninggalkan apapun, kecuali luka yang membekas
tebal di hatimu itu. Aku menyesal. Aku minta maaf. Ingat
hari dimana aku mengajakmu bertemu waktu itu? Hari
dimana aku mengakhiri hubungan kita secara sepihak?
Mungkin kamu merasa benci padaku hari itu, aku pun begitu.
Aku berniat memberitahumu sesuatu. Tapi aku tak kuasa
menahan rasa khawatir di benakku. Satu tahun memang
sebentar. Tapi dalam jangka waktu itu, kamu sudah sempurna
menjadi bagian hidupku. Kau tau? Sehari sebelum hari itu,
aku jatuh pingsan ketika hendak masuk kamar rumahku. Aku
tak sadarkan diri, aku dibawa ke rumah sakit oleh
orangtuaku. Dan ternyata, coba tebak.. aku dikabarkan
mengidap penyakit kanker otak. Aku kaget, aku bingung. Aku
dianjurkan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit di luar
negeri. Awalnya aku menolak, tapi aku terpaksa melakukannya
demi bertahan hidup. 1 tahun belakangan ini aku mencoba
untuk menjalani rawat jalan saja. Aku pulang ke Indonesia,
aku mencoba menghubungimu, tapi aku tak berani. Aku takut.
Mungkin caraku salah. Aku minta maaf. Aku ingin
memberitahumu, besok aku ada operasi di rumah sakit dekat
sekolah kita dulu. Aku mengharapkan kehadiranmu untuk
memotivasiku. Aku berharap kau mendoakanku agar
operasinya berjalan sukses. Aku menunggumu.”
Sekejap air mataku mengucur tak terbendung, aku menangis
histeris menyesali apa yang telah kuperbuat. Aku lari dan
mencari kendaraan untuk segera bergegas kesana. Setibanya
disana aku langsung mencari data pasien atas nama mantan
kekasihku itu. Namun tak ditemukan data satu pun. Tangisku
makin menjadi-jadi. Lalu tiba-tiba seseorang menepuk bahuku
dari belakang, ia adalah Vega, adik dari Aylo. Ia
memberitahuku operasi yang dijalani kakaknya kemarin.
Dengan terbata-bata dan sedikit mengeluarkan air mata, ia
berkata kalau operasi yang dijalaninya gagal. Aylo sudah tidak
ada. Pacar, kakak, motivatorku, moodbooster-ku kini tak lagi
berada di dunia. Aku menjerit histeris. Satu harapan besarku
kini, andai aku dapat kembali ke waktu dimana Aylo
memintaku untuk menemuinya, aku akan melakukan apa yang
seharusnya aku lakukan. Aylo, aku menyayangimu atas semua
perbuatan yang telah kau lakukan.
0 komentar:
Posting Komentar